Indikator semakin dekat denganNya
Mereka mengingatkan kami tentang hukum isbal, hukum berjenggot, hukum bersiwak, hukum gambar/lukisan makhluk bernyawa dan hukum musik dan bernyanyi
Hukum Isbal, contohnya pada http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/hukum-isbal/
Hukum berjenggot pada http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/18/hukum-mencukur-dan-memelihara-jenggot/
Hukum bersiwak ada dalam tata cara wudhu pada http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/cara-wudhu/
Hukum gambar/lukisan makhluk bernyawa pada
Hukum menyanyi dan musik pada http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/18/hukum-menyanyi-dan-musik-dalam-fiqih-islam/
Permasalahan pokok bukan pada masalah itu. Pertanyakanlah pada diri kita apa tujuan kita melakuan suatu sikap atau perbuatan. Seluruh sikap dan perbuatan kita adalah untuk beribadah kepada Allah ta'ala karena itulah tujuan kita diciptakanNya.
Firman Allah ta'ala yang artinya
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS Adz Dzaariyaat 51 : 56)
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (QS al Hijr [15] : 99)
Ibadah terbagi dalam dua kategori yakni amal ketaatan dan amal kebaikan
Amal ketaatan adalah ibadah yang terkait dengan menjalankan kewajibanNya (perkara kewajiban) dan menjauhi laranganNya (perkara larangan dan pengharaman).
Amal ketaatan adalah perkara mau tidak mau harus kita jalankan atau kita taati.
Amal ketaatan jika tidak dijalankan atau tidak ditaati akan mendapatkan akibat/ganjaran, ganjaran baik (pahala) maupun ganjaran buruk (dosa).
Amal ketaatan adalah bukti ketaatan atau “bukti cinta” kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas (larangan), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Contoh amal ketaatan atau perkara mau tidak mau harus kita jalankan atau kita taati adalah mengucapkan syahadat, menunaikan sholat wajib lima waktu, zakat, puasa bulan ramadhan, menunaikan ibadah haji bagi yang telah sampai kewajibannya, tidak menyekutukanNya, jujur, berbakti kepada orang tua, tidak berzina, tidak melakukan riba, tidak dengki, tidak iri, tidak menunda hak-hak manusia, tidak menyia-nyiakan hak keluarganya, familinya, tetangganya, kerabat dekatnya, dan orang-orang senegerinya dan lain lain.
Telah menceritakan kepadaku Salamah bin Syabib telah menceritakan kepada kami al-Hasan bin A’yantelah menceritakan kepada kami Ma’qil -yaitu Ibnu Ubaidullah- dari Abu az-Zubair dari Jabir bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Apa pendapatmu bila saya melaksanakan shalat-shalat wajib, berpuasa Ramadlan, menghalalkan sesuatu yang halal, dan mengharamkan sesuatu yang haram, namun aku tidak menambahkan suatu amalan pun atas hal tersebut, apakah aku akan masuk surga? Rasulullah menjawab: Ya. Dia berkata, Demi Allah, aku tidak akan menambahkan atas amalan tersebut sedikit pun (HR Muslim 18) Sumber:http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=10&action=display&option=com_muslim
Jika kita melakukan amal ketaatan maka disebut sebagai orang beriman (mukmin), peningkatan dari muslim menjadi mukmin, balasannya adalah surga. SurgaNya adalah sebuah keniscayaan bagi “orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya”
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175
Amal kebaikan adalah ibadah diluar amal ketaatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Amal kebaikan adalah perkara yang dilakukan atas kesadaran kita sendiri untuk meraih kecintaan atau keridhoan Allah Azza wa Jalla.
Amal kebaikan adalah ibadah yang jika dilakukan dapat pahala (kebaikan) dan tidak dilakukan tidak berdosa.
Amal kebaikan adalah “ungkapan cinta” kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.
Amal kebaikan adalah upaya kita untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan bahwa amal kebaikan (amal sholeh) sangat luas sekali.
Dari Abu Dzar r.a. berkata, bahwasanya sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, orang-orang kaya telah pergi membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan untukmu sesuatu yang dapat disedekahkan? Yaitu, setiap kali tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh pada kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan hubungan intim kalian (dengan isteri) adalah sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya dan dia mendapatkan pahala?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Bagaimana pendapat kalian jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, apakah ia berdosa? Demikian juga jika melampiaskannya pada yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim 1674)
Setiap muslim yang menjadi mukmin dan melakukan amal kebaikan disebut muhsin (muhsinin) atau muslim yang ihsan atau muslim yang baik atau muslim yang sholeh (sholihin). Muslim yang memperjalankan diri mereka kepada Allah Azza wa Jalla dan akan mendapat maqom (derajat) kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla sesuai perjalanan yang dilakukan atau sesuai dengan amal kebaikan yang telah diperbuat.
Secara umum urutannya adalah muslim (orang Islam) –> mukmin (orang beriman) –> muhsin (orang sholeh)
Pada hakikatnya tujuan kita beribadah adalah bagaimana dengan ibadah yang kita jalankan membuat semakin dekat kepadaNya, bertemu padaNya, kembali padaNya.
Ilmu yang banyak pun tidak menjamin semakin dekat denganNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“.
Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/04/semakin-jauh-darinya/
Bahkan ulama mereka menganggap tidak masuk akal mengapa seseorang melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya dimana secara syari’at menghukuminya sah malah semakin jauh dariNya sehingga beliau mengingkari hadits Rasulullah yang menyatakan
“Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Pendapat ulama mereka bahwa "meskipun orang yang melakukan shalat tersebut terus menerus melakukan beberapa maksiat, maka bagaimana mungkin hanya karena itu, shalatnya tidak akan menambah kecuali jarak yang semakin jauh. Hal ini tidak masuk akal dan tidak disetujui oleh syari’at ini”
Pendapat ulama mereka selengkapnya ada pada http://almanhaj.or.id/content/2324/slash/0
Jadi menurut ulama mereka bahwa "Mustahil semakin jauh dariNya seseorang yang selalu melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya dimana secara syari’at menghukuminya sah, hanya karena seseorang terus menerus melakukan beberapa maksiat"
Dengan kata lain ulama mereka berpendapat kalau seseorang yang selalu melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya dimana secara syari’at menghukuminya sah maka tidak mengapa melakukan beberapa maksiat saja.
Boleh jadi ulama mereka berpemahaman bahwa menjalankan sholat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya dimana secara syari’at menghukuminya sah mempunyai tingkat pahala yang sangat tinggi sehingga tidak mengapa melakukan beberapa maksiat saja. Sama saja mereka yang beribadah namun selalu "berhitung" dengan Allah Azza wa Jalla.
Bagi kami hal ini menunjukkan bahwa ulama mereka tidak mengetahui indikator semakin dekat denganNya.
Apa indikator serang muslim semakin dekat denganNya setelah mereka mengikuti sunnah Rasulullah seperti berjenggot, bersiwak, selalu menjaga wudhu dan kesempurnaanya, tidak berisbal, sholat 5 waktu tepat waktu dan selalu berjama'ah ?
Apa indikator seorang muslim semakin dekat denganNya setelah mereka menjalankan ibadah sesuai sunnah Rasulullah ?
Apa indiktor seorang muslim semakin dekat denganNya setelah mereka menjalani segala kewajibanNya dan menjauhi segala laranganNya (larangan dan pengharaman) ?
Apa indikator seorang muslim semakin dekat denganNya setelah mereka beribadah dengan ikhlas hanya kepada Allah Azza wa Jalla ?
Indikatornya adalah muslim tersebut berakhlak baik atau menjadi muslim yang baik (sholihin) atau muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin)
Tujuan Rasulullah di utus oleh Allah ta'ala adalah agar hambaNya berakhlak baik
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Indikator muslim yang dekat denganNya adalah muslim yang ihsan.
Apakah Ihsan ?
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11) Link: http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=3&action=display&option=com_muslim
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Muslim yang dekat denganNya adalah muslim yang Ihsan yakni muslim yang dapat melihat Allah ta'ala dengan hati atau minimal muslim yang selalu merasa dalam pengawasan / penglihatan Allah Azza wa Jalla. "Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur" (QS Al Baqarah [2];255).
Barangsiapa yang merasa diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb atau muslim yang Ihsan (muslim yang baik , muslim yang sholeh) – , maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, sehingga ia tidak berzina, tidak korupsi, tidak zalim dalam kepemimpinan, tidak melakukan riba, tidak dengki, tidak iri, tidak mencela/menghujat/mengolok-olok saudara muslimnya sendiri, tidak menunda hak-hak manusia, tidak menyia-nyiakan hak keluarganya, familinya, tetangganya, kerabat dekatnya, dan orang-orang senegerinya serta tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar lainnnya
Sholat atau segala ibadah yang menjadikan dekat denganNya adalah akan selalu merasa diawasi Allah ta'ala atau dapat melihat Allah ta'ala dengan hati sehingga tercegah dari perbuatan keji dan mungkar
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).
Barangsiapa tidak khusyuk dalam sholatnya dan pengawasan Allah tidak tertanam dalam jiwanya atau qalbunya, maka ia telah bermaksiat dan berhak mendapatkan siksa Allah ta’ala.
Segelintir kaum muslim, ibadah sholat mereka sekedar upacara keagamaan (ritual) atau gerakan-gerakan yang bersifat mekanis (amal) yang sesuai syarat dan rukun-rukunnya (ilmu), sebagaimana robot sesuai programnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)
Barangsiapa dengan sholatnya masih melakukan perbuatan keji dan mungkar maka sholatnya tidak khusyu atau sholatnya lalai maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya. Tentang sholat yang lalai telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/09/mereka-lalai/
Firman Allah ta'ala yang artinya,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk Sholat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka dzikrullah (menyebut Allah) kecuali hanya sedikit sekali” (QS An-Nisa [4]: 142)
`…. maka celakalah orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya, dan orang-orang yang berbuat riya” (QS Al-Ma’un [107]: 4-6)
Allah juga memberikan pujian kepada orang-orang mukmin yang khusyu dalam sholatnya
Firman Allah ta'ala yang artinya“Sungguh beruntunglah mereka yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam sholatnya” (QS Al Mukminun 23: 1-2)
Al-Quran menyebutkan penyebab dicabutnya ilmu khusyu’, yaitu karena memperturutkan hawa nafsu dan melalaikan sholatnya. Dalam Al-Qur’an Allah juga telah menunjukkan jalan bagi yang mendapatkan kekhusyu’an
Firman Allah ta'ala yang artinya
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS Al Baqarah 2: 45-46)
Sholat yang khusyu adalah memperjalankan diri kita sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla.
Sholat yang mendekatkan diri kepadaNya.
Sholat yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.
Sholat yang membuat berkumpul dengan orang-orang disisiNya, para kekasih Allah yakni para Nabi (yang utama Rasulullah), para Shiddiqin, para Syuhada, dan orang-orang sholeh
Tingkat kedekatan dengan Allah ta'ala telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/28/maqom-wali-allah/
Jadi kita bisa dapat memanami bahwa seerorang telah berdusta jika mereka mengaku-aku ittiba' li Rasulihi namun mereka tidak berakhlak baik seperti mencela, memperolok-olok, merendahkan, menghujat saudara muslim lainnya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Begitu juga bisa kita dapatkan ulama namun suka menghujat saudara muslim lainnya seperti "kuburiyyun, hizbiyyun, kadzab, ahlul bi'ah kepada saudara muslim lainnya serta serampangan mensesatkan bahkan mengkafirkan saudara muslim lainnya. Hal ini menunjukkan mereka belum mencapai muslim yang Ihsan , muslim yang berakhlak baik.
Ulama yang dalam perbincangannya, dikusi, ceramah, atau khutbahnya sering mengangkat masalah bid'ah pada hakikatnya termasuk ulama korban perang pemahaman sebagaimana yang kami uraikan dalam tulisan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/24/korban-perang-pemahaman/ Mereka salahpaham tentang bid'ah karena mereka tidak lagi mau mentaati pemimpin (imam) ijtihad atau imam mujtahid alias Imam Mazhab. Mereka terperosok kedalam paham anti mazhab.
Wasiat Rasulullah bahwa 'Peganglah kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham dan jauhilah ajaran-ajaran yang baru (dalam agama) karena kebanyakan bid’ah adalah sesat.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi) pada hakikatnya tidaklah perlu kita khawatirkan lagi karena para Imam Mazhab telah mengumpulkan dan menguaraikan dalam kitab fiqih mereka apa yang telah diwajibkanNya (ditinggalkan berdosa) maupun apa yang telah dilarangNya (dikerjakan berdosa). Para Imam Mazhab telah menetapkan hukum perkara dalam lima kategori yakni wajib, haram, sunnah (mandub), makruh, mubah. Kita tinggal menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya.
Mereka yang tidak mentaati pemimpin (imam) mujtahid atau Imam Mazhab boleh jadi terperosok kedalam penyembahan kepada selain Allah karena mereka mengada-ada sesuatu yang tidak dilarang menjadi dilarang (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya, sesuatu yang tidak diharamkan menjadi diharamkan (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya, sesuatu yang tidak wajib menjadi wajib (ditinggalkan berdosa) atau sebaliknya. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/16/terjerumus-kesyirikan/
‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat yang artinya, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah [9] : 31) , kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu“. Maka jawab Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Firman Allah ta'ala yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
Mereka telah melampaui batas, melampaui yang merupakan hak Allah ta'ala menetapkannya karena kesalahpahaman mereka dalam memahami Al Qur'an dan Hadits, mereka tidak mau mentaati pemimpin (imam) mujtahid atau Imam Mazhab. Mereka memahami Al Qur'an dan Hadits berdasarkan akal pikiran mereka sendiri.
Inilah yang diistilahkan oleh Rasulullah sebagai "orang-orang muda", orang yang membaca Al Qur'an namun tidak melampaui tenggorokan mereka. Selengkapnya telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/15/orang-orang-muda/
Jadi setelah para Imam Mazhab menyampaikan ijtihad dan istinbat mereka dalam kitab fiqih maka tidak perlu lagi buang-buang waktu ceramah atau khutbah membahas tentang bid'ah. Jika menghadapi sesuatu yang baru atau sesuatu yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah diluar amal ketaatan, pegangan kita adalah jika tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits maka termasuk amal kebaikan dan sebaliknya jika bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits maka termasuk keburukan.
Sebaiknya isi kutbah / ceramah adalah bagaimana kita mendekatkan diri kepadaNya. Bagaimana mengupayakan agar umat muslim dapat selalu merasa diawasi/dilihat oleh Allah Azza wa Jalla atau yang terbaik adalah bagaimana mengupayakan agar umat muslim dapat melihat Allah ta'ala dengan hati atau dengan kata lain bagaimana mengupayakan umat muslim berakhlak baik, berakhlak baik terhadap Allah Azza wa Jalla dan berakhlak baik terhadap ciptaanNya yang lain.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Tidak ada komentar:
Posting Komentar